Tuesday 7 April 2015

RUMAH ADAT MANDAILING.



Latar Belakang Indonesia adalah salah satu negara kepulauan yang memiliki berbagai budaya yang dilatarbelakangi suku dari berbagai daerah masing-masing. Masing-masing budaya memiliki ciri khas berdasarkan daerah yang disesuaikan dengan daerah dan kondisi masyarakat yang ada di daerah tersebut. Budaya yang ada tersebut masih bersifat tradisional dan ada yang masih primitif. Budaya yang ada itulah yang mengatur kehidupan manusia yang ada dalam masyarakatnya. Manusia dalam hidupnya, berupaya untuk menciptakan lingkungan yang utuh, dengan tujuan agar dirinya dapat menampung semua kebutuhannya, baik kebutuhan sebagai tempat tinggalnya, untuk tempat berusaha, ataupun untuk melaksanakan kegiatan aktivitas sosial budayanya (Budiharjo, 1997:3). Segala upaya yang dilakukan manusia dalam mempertahankan hidupnya diwujudkan dalam berbagai hasil karya cipta manusia itu sendiri. Salah satu wujud dari hasil karya manusia tersebut bisa dilihat dari bangunan adat yang dilengkapi dengan ornamen-ornamennya. Bangunan tersebut biasanya bercirikan budaya yang ada pada suatu suku bangsa. Setiap budaya memiliki ciri khas tersendiri yang berbeda satu dengan yang lainnya.
Keanekaragaman budaya Indonesia yang tersebar luas di beberapa daerah kepulauan Nusantara ini memiliki nilai-nilai estetis yang tinggi, terutama dilihat dan diukur dari kadar nilai seninya. Seni bangunan, seni tari, seni kerajinan, seni pahat, seni ukir, seni hias atau seni ornamen, dan lain sebagainya, merupakan jenis-jenis ragam budaya yang dimiliki daerah-daerah setempat yang berciri tradisional. Bahkan seni sastra daerah terus menerus dipelihara dan dijaga kelestariannya, dalam bentuk ungkapan cerita atau dongeng yang selalu hidup terus di kalangan masyarakat. Banyak ragam seni tersebut yang masih terpelihara sampai sekarang, misalnya sastra daerah, nyanyian, puisi maupun seni tari dan seni ukir yang di dalamnya tersimpan berbagai makna dari falsafah hidup yang biasa terdapat di ukiran rumah adat dari daerah yang bersangkutan. Budaya yang ada tersebut terus dijaga dan selalu dilakukan berbagai upaya untuk melestarikannya. Keanekaragaman budaya yang terdapat di Indonesia, memiliki suatu tradisi budaya yang kuat dan berciri khas kedaerahan. Perbedaan tersebut dikarenakan keadaan masyarakat pada sukunya masing-masing yang telah diwariskan secara turun menurun. Salah satu ciri kebudayaan yang ada di suatu daerah dapat dilihat dari bangunan tradisionalnya. Bentuk bangunan tradisional yang merupakan ciri suatu suku akan diungkapkan dalam tulisan ini. Bentuk bangunan yang akan dibahas yaitu bangunan tradisional yang berasal dari suku Mandailing. Pada saat sekarang ini, masih banyak kita temui bangunan-bangunan tradisional yang masih terpelihara keaslianny. Bangunan tradisional memiliki arti yang sangat penting bagi masyarakatnya. Bangunan tradisioanl erat kaitannya dengan budaya yang ada pada masyarakat yang menggambarkan kehidupan sosial masyarakat di daerah tersebut. Salah satu bangunan tradisional yang masih dijaga kelestariannya adalah bangunan rumah adat atau rumah yang diadatkan.

Bangunan rumah adat dari daerah Mandailing adalah salah satu contoh karya manusia, yang sangat kaya dengan hiasan simbol-simbol yang berbentuk ragam ornamen. Nilai-nilai simbolis yang ada pada ornamen-ornamen tersebut sangat erat kaitannya dengan kehidupan adat dan kebiasaan budaya dari nenek moyang masyarakat. Keberadaan karya bangunan atau arsitektur tradisional Mandailing menurut para ahli diperkirakan sudah ada sejak abad ke-14. Seperti yang tercantum dalam satu syair ke-13 Kakawin Negarakertagama hasil karya Prapanca (1287 Caka/1365 M), yang dikatakan bahwa: “Daerah-daerah di luar Jawa yang pernah dibawah pengaruh Majapahit pada abad ke-14, diantaranya ada disebutkan kata Mandailing”. Hal ini membuktikan bahwa pada masa itu, peradaban kebudayaan Mandailing sudah berkembang, dikenal, dan tersohor dikalangan penduduk dari daerah lainnya. Bangunan arsitektur tradisional Mandailing adalah bukti budaya fisik yang memiliki peradaban yang tinggi. Sisa-sisa peninggalan arsitektur tradisional Mandailing masih dapat kita lihat sampai sekarang ini dan merupakan salah satu dari beberapa peninggalan hasil karya arsitektur tradisional bangsa Indonesia yang patut mendapat perhatian dan dipertahankan oleh Pemerintah dan masyarakat baik secara langsung baik tidak langsung.

Secara fisik, bentuk dan struktur bangunan rumah adat Mandailing diduga sangat arif dalam menyikapi situasi dan perilaku alam yang terdapat pada alam sekitarnya. Hiasan yang terdapat pada bangunan rumah tradisional Mandailing mengandung berbagai arti simbolik yang berkaitan dengan kehidupan sosial budaya masyarakat Mandailing. Bangunan tradisional ini merupakan salah satu ciri atau identitas masyarakat Mandailing. Kenyataan inilah yang menjadikan bukti bahwa sebuah karya bangunan tradisional Mandailing masih ada sampai sekarang dan terus dipelihara oleh setiap generasinya walaupun beberapa bagian bangunan tradisional tersebut telah mengalami perubahan yang disesuaikan dengan kondisi masyarakat sekarang ini. Karya bangunan arsitektur tradisional Mandailing adalah bentuk upaya kreativitas orang-orang Mandailing dalam berinteraksi antara dirinya dengan lingkungan alam atau lingkungan fisiknya. Interaksi antara manusia dengan pengalaman hidupnya sebagai makhluk berbudaya, dan juga interaksi antara eksistensi dirinya bersama dengan yang lain, sebagai makhluk yang hidup bersosial.

Dalam kehidupan sehari-hari sebagai makhluk bersosial, masyarakat Mandailing memiliki garis keturunan yang ditarik dari pihak laki-laki (patrilineal) yang dikenal dengan istilah marga. Ada sembilan marga yang diyakini oleh masyarakat Mandailing. Marga-marga tersebut antara lain adalah marga: Nasution, Hasibuan, Lubis, Pulungan, Rangkuti, Matondang, Daulay, Regar, Harahap, Dalimunte dan lain sebagainya. Masyarakat Mandailing dalam kehidupan sosial juga mengenal adanya lapisan sosial yang terdiri dari tiga tingkatan, masing-masing yang umum disebut : namora-mora (kaum bangsawan), “alak najaji” atau “alak na bahat” (orang kebanyakan), dan “hatoban” (hamba sahaya)[1]

[1] Pandapotan Nasution, H, “ Adat Budaya-Mandailing Dalam Tantangan Zaman “ FORKALA Prov.Sum.Utara, 2005.

Rumah adat atau arsitektur bangunan tradisional Mandailing, diantara dikenal dengan sebutan Bagas Godang dan Sopo Godang. Bagas Godang merupakan rumah besar yang dahulu menjadi tempat tinggal atau tempat peristirahatan para Raja yang dibangun secara bergotong royong oleh masyarakat Mandailing. Bagas Godang biasanya juga dibangun berpasangan dengan sebuah balai sidang adat yang terletak dihadapan atau persisnya bersebelahan dengan rumah Raja. Balai sidang adat tersebut dinamakan Sopo Godang. Bangunan pada Bagas Godang mempergunakan tiang-tiang besar yang berjumlah ganjil dan anak tangganya juga berjumlah ganjil. Sopo Godang dibangun tanpa menggunakan dinding atau penutup. Hal ini melambangkan bahwa pemerintahan dalam suatu perkampungan, yang disebut Huta, adalah pemerintahan yang demokratis. Semua sidang adat dan pemerintahan dapat dilihat secara langsung dan bebas disaksikan dan didengar oleh masyarakat di dalam satu “Huta” (kampung). Sopo Godang digunakan oleh Raja dan tokoh-tokoh Na Mora Na Toras, sebagai wakil rakyat untuk tempat mengambil keputusan-keputusan yang sangat penting dan juga memiliki fungsi menerima tamu-tamu terhormat.

Bagas Godang senantiasa didampingi oleh sebuah Sopo Godang yang posisinya biasanya tepat di depan bangunan Bagas Godang. Pembangunan sebuah Bagas Godang membutuhkan halaman yang cukup luas. Halaman Bagas Godang tersebut dinamakan Alaman Bolak Silangse Utang (halaman luas pelunas hutang) ”semua warga masyarakat yang berada di sekitarnya, jika ingin mencari perlindungan dari ancaman yang membahayakan dirinya boleh mendapat keselamatan dalam halaman ini. Menurut adat Mandailing pada saat orang yang sedang dalam bahaya memasuki halaman ini, ia akan dilindungi oleh Raja, dan tidak boleh diganggu-gugat, walaupun orang tersebut bersalah ataupun benar. Hasil karya arsitektur tradisional Mandailing masih dapat dilihat dari peninggalan rumah-rumah adat berupa Bagas Godang dan Sopo Godang yang tersebar di Kecamatan Penyabungan, Kecamatan Kotanopan dan Kecamatan Muara Sipongi. Rumah-rumah adat ini merupakan peninggalan dari kerajaan-kerajaan yang ber-marga Lubis yang berada didaerah Mandailing Julu (berada pada daerah kawasan Kotanopan), dan kerajaan-kerajaan marga Nasution di daerah Mandailing Godang (berada pada daerah kawasan Penyabungan).

Peninggalan masa kerajaan marga Lubis dapat dijumpai di Singengu, Sayur Maincat, Tambangan, Manambin, Tamiang dan Pakantan yang ditandai dengan masih berdirinya Bagas Godang Raja Panusunan Singengu, Bagas Godang dan Sopo Godang Raja Panusunan Pakantan, Bagas Godang dan Sopo Godang Raja Pamusuk Hutanagodang (wilayah kerajaan Manambin) dan reruntuhan Bagas Godang Raja Panusunan Tamiang, yang dimaksud dengan Raja Panusunan ini merupakan raja tertinggi dari kesatuan beberapa huta, sedangkan Raja Pamusuk merupakan raja yang berada di bawah Raja Ihutan yang memimpin satu huta [2]saja.

[2] Huta merupakan suatu tempat pemukiman masyarakat dalam perkampungan didalam komunitas masyarakat Mandiling.

Peninggalan masa kerajaan yang bermarga Nasution berada di Panyabungan Tonga yang masih berdiri dan meninggalkan sebuah bangunan Bagas Godang Raja Panusunan Panyabungan dan Sopo Godangnya. Selain itu juga terdapat beberapa peninggalan rumah untuk tempat tinggal yang berbentuk Sopo Godang seperti yang terdapat di Hutasiantar, Pidoli Dolok, Panyabungan Tonga, Gunung Baringin, Hutadangka, Tobang, Botung, Husortolang, Muarasoro dan Muara Sipongi.

Bukanlah suatu gejala yang baru apabila kian hari jumlah arsitektur tradisional seperti Bagas Godang maupun Sopo Godang tersebut semakin berkurang. Bangunan arsitektur tradisional tersebut merupakan penjelmaan atau cerminan sosiokultural[3]

Bangunan arsitektur sekarang tampak lebih beranekaragam dan majemuk. Namun apakah sudah menunjukkan keramahan atau keharmonisan lingkungan fisik maupun sosiokulturalnya, sebagaimana yang sudah dimiliki oleh nenek di jamannya, yang barangkali dirasakan tidak lagi sesuai dengan kondisi dan kenyataan kehidupan yang ada disaat ini. Hal itu dimungkinkan karena posisi geografis maupun terpaan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini sudah demikian berkembang. Ataupun juga disebabkan oleh pengaruh budaya lain yang telah melandanya, sehingga nilai-nilai yang tidak lagi relevan mengalami perubahan, atau dimodifikasi sesuai dengan keadaan sekarang. Benturan nilai budaya inilah yang melatar belakangi bentuk perkembangan dan selera arsitektur yang ada sekarang di daerah Mandailing.

[3] Sosiokultural persamaan sosial budaya

moyangnya di jaman dahulu. Menurut Bruno Zevi, pembangunan modern yang ada sekarang justru tidak memiliki kepedulian yang semacam itu.[4]
Berdasarkan hasil penelitian awal oleh penulis di daerah Penyabungan dengan menggunakan kamera photo ternyata telah banyak terjadi perubahan. Atap bangunan yang pada awalnya menggunakan bahan ijuk enau , telah diganti dengan bahan dari seng . Hal ini disebabkan oleh seng lebih praktis, tahan lama, terjamin mutunya dan mudah mendapatkannya.

[4] Maryono, Irawan & dkk, 1982: 6

Pewaris merupakan garis keturunan dari Raja yang terdahulu, dan diberikan kekuasaan sebagai generasi penerus untuk memelihara Bagas Godang maupun Sopo Godang agar tidak punah oleh perkembangan zaman. Pada kenyataannya, bangunan Bagas Godang dan Sopo Godang mulai dari bangunannya, maupun dari cara pemanfaatannya telah mengalami renovasi dan perubahan. Bangunan dapur Bagas Godang juga telah direnovasi menjadi bangunan dapur berdindingkan tembok batu, sedangkan dahulunya dibangun dengan menggunakan dinding kayu. Mungkin hal ini disebabkan, karena saat ini harga kayu lebih mahal dan semakin sulit mendapatkannya. Cat-cat pewarna yang melekat juga, sudah menggunakan produk-produk yang tersedia pada saat sekarang ini.

1. 2. Ruang Lingkup Penelitian Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah :
1. Pemaknaan para generasi pewaris maupun masyarakat setempat dalam melakukan renovasi terhadap sosok bangunan arsitektur Bagas Godang maupun Sopo Godang tersebut?
2. Nilai-nilai apa yang terus dilestarikan ketika merenovasi bangunan arsitektur tersebut?
3. Mengapa nilai tersebut, terus dilestarikan? Sebaliknya nilai-nilai apa yang dirobah atau dimodifikasikan ketika melakukan renovasi. Apa alasannya, mengapa hal itu dapat dilakukan?
Berdasarkan ruang lingkup penelitian yang dipaparkan diatas tersebut, maka penulis terdorong untuk melakukan penelitian lebih lanjut mengenai bangunan tradisional pada masyarakat Mandailing yang disebut dengan Bagas Godang dan Sopo Godang. 1. 3. Lokasi Penelitian Penelitian terhadap bangunan tradisional masyarakat Mandailing ini dilakukan di Desa Pidoli Dolok, Panyabungan Tonga, Kecamatan Penyabungan, Kabupaten Mandailing Natal. Pemilihan lokasi penelitian di daerah ini disebabkan karena di daerah ini banyak terdapat bangunan Bagas Godang dan Sopo Godang yang telah mengalami proses renovasi yang dilakukan oleh pewaris dari rumah adat tersebut.
1. 4. Tujuan dan Manfaat Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mendapat gambaran tentang penilaian ataupun pemaknaan terhadap bangunan arsitektur seperti Bagas Godang dan Sopo Godang tersebut. Hal-hal apa saja yang harus terus dipertahankan atau dilestarikan, dan sebaliknya hal apa saja yang boleh dirubah ketika dilakukan renovasi terhadap bangunan tersebut. Manfaat dari penelitian ini dapat dilihat dari dua sisi yaitu :
1. Secara akademis dapat menambah pemahaman tentang nilai-nilai kehidupan masyarakat Mandailing disaat melakukan renovasi terhadap peninggal-peningalan budaya fisik yang mereka warisi, khususnya terhadap bangunan arsitektur Bagas Godang dan Sopo Godang.
2. Secara praktis penelitian ini bisa dimanfaatkan atau menjadi kontribusi, khususnya terhadap masyarakat Indonesia yang berkecimpung dibidang developer. Sungguh berguna dalam menentukan strategi kebijakan yang berkaitan dengan hal-hal yang menyentuh nilai-nilai kehidupan budaya fisik di dalam masyarakat.
1. 5. Tinjauan Pustaka Bagas Godang dan Sopo Godang adalah wujud bangunan arsitektur tradisional. Wujudnya tentu tidak terlepas dari ungkapan nilai-nilai sosiokultural kehidupan masyarakat Mandailing. Jika kita melihat dari sisi fungsinya, dapat digolongkan sebagai salah satu unsur kebudayaan, yaitu: sistem teknologi ataupun peralatan hidup, yang berguna sebagai tempat berteduh dan berlindung terhadap kondisi-kondisi lingkungan alamnya. Bangunan arsitektur itu sendiri adalah yang pertama adalah kulit tubuh manusia itu sendiri, kulit yang kedua adalah busana dan kulit yang ketiga bagi manusia penghuninya, yaitu berfungsi sebagai tempat untuk berlindung terhadap ganasnya lingkungan alam, berdasarkan penjelasan mengenai sistem arsitektural yang telah dijabarkan sebelumnya maka fungsi Bagas Godang dan Sopo Godang termasuk pada kulit ketiga dari sistem arsitektural, yaitu sebagai tempat untuk berlindung dari ganasnya lingkungan alam, sistem arsitektural Bagas Godang dan Sopo Godang juga memiliki peranan lainnya yaitu sebagai tempat tinggal yang memiliki nilai-nilai adat. Arsitektur seperti Bagas Godang maupun Sopo Godang juga digolongkan sebagai unsur kebudayaan yang mengandung corak berupa ungkapan rasa keindahan, atau seni yang mengandung nilai-nilai estetika. Oleh karena itu di dalamnya melekat upaya-upaya kemanusiaan dalam rangka mengekspresikan dirinya. Curahan yang terdapat dari dalam batin manusia di zamannya, sehingga terciptalah hasil yang sering kali dinamakan seni arsitektur tradisional.

Arsitektur tradisional Mandailing yang terdapat sekarang sudah jauh berbeda dengan struktur bangunan yang aslinya maka dalam hal ini, keberadaannya lebih ditekankan dari sudut perspektif atau pandangan sistem pengetahuan para pewarisnya. Para pewaris dimaksud tidak hanya pewaris langsung atau keturunan dari pemiliknya saja, tetapi dapat juga warga masyarakat biasa yang bukan tergolong keturunan dari si-pemilik bangunan. Masyarakat biasa secara tidak langsung adalah pewaris nilai-nilai akan arsitektur tradisional tersebut. Upaya mengkaji arsitektur tradisional Mandailing semacam itu tidak terlepas dari pengertian-pengertian tentang konsepsi-konsepsi budaya. Kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar (Koentjaraningrat, 1980:193), dan dari definisi kebudayaan ini Bagas Godang dan Sopo Godang dapat dikatakan sebagai hasil karya manusia, untuk menjadikan sebagai suatu hasil karya manusia diperlukan adanya proses penyampaian hasil karya tersebut kepada generasi selanjutnya, proses transmisi ini meliputi cara pandang, cara pembuatan maupun penggunaan yang dapat diperoleh melalui tiga wujud kebudayaan yang secara singkat dapat dituliskan sebagai berikut, yaitu : wujud ide/gagasan, wujud sistem sosial, dan wujud kebudayaan fisik Ketiga wujud kebudayaan ini berjalan seiring dan berkaitan serta dalam penjelasan suatu fenomena kebudayaan ketiga wujud kebudayaan tersebut tidak dapat dipisahkan namun dapat dijelaskan secara terpisah.

Dari definisi dan wujud kebudayaan tersebut Bagas Godang dan Sopo Godang dalam penelitian ini dapat dilihat sebagai suatu bagian dari kebudayaan fisik, tetapi juga dapat bersifat ide dan gagasan mengenai Bagas Godang dan Sopo Godang yang merupakan suatu karya kognitif yang menjadi milik masyarakat Mandailing, untuk memperkuat hal ini digunakan analisis folklor, dimana folklor adalah sebagian kebudayaan suatu kolektif, yang tersebar dan diwariskan secara turun temurun, diantara kolektif macam apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat peraga pembantu pengingat (mnemonic device) (James Danandjaja, 1986:2). Karena fokus perhatian penelitian ini tidak hanya tertuju semata pada wujud konkret arsitektur saja, teapi juga erat berkaitan dengan hal-hal yang bersifat abstrak yaitu mengenai nilai-nilai ataupun sistem pengetahuan para pewarisnya. Bagaimana mereka merenovasi struktur bangunan arsitektur sehingga terwujud sebagaimana adanya saat ini. Kalau dahulu arsitektur tradisional Bagas Godang dan Sopo Godang dibuat sedemikian rupa karena memiliki nilai-nilai simbol pada bangunan dengan motif dan corak yang mencerminkan sifat-sifat Raja dalam menjalani kekuasaan yang juga arif terhadap masyarakatnya, yang mana bangunan bagian atap berbentuk seperti perahu yang melengkung dan menyerupai tanduk kerbau yang melambangkan bahwa Raja memiliki sifat yang keras dalam segala apapun, dan dalam peperangan tidak ada kata mundur terus maju tanpa menyerah terhadap lawannya.

Saat ini zaman telah berubah berbagai bangunan arsitektur tradisional seperti Bagas Godang maupun Sopo Godang khususnya di daerah Penyabungan telah dilakukan renovasi, sehingga mengalami adanya perbedaan ataupun perobahan dari bentuk aslinya. Bagaimana sistem pengetahuan atau cara para pewaris melakukan perobahan tersebut tentu saja hal ini erat kaitannya dengan kajian-kajian mengenai kebudayaan. Kebudayaan dalam hal ini lebih dimengerti sebagaimana dikatakan oleh Parsudi Suparlan (1981), yang menyatakan bahwa: ............“keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial, yang digunakan untuk menginterpretasikan dan memahami lingkuangan yang dihadapi, dan untuk menciptakan serta mendorong terwujudnya kelakuan”. Oleh karena itu kebudayaan berfungsi dapat menjadikan seseorang individu membuat sistem pengkategorisasian terhadap keanekaragaman yang ada di lingkungan hidupnya secara lebih sederhana. Dapat membuat identifikasi, membuat metode yang sistematis, memprediksi kemungkinan yang terjadi, serta membuat model-model berpikir yang khas dalam rangka menginterpretasikan lingkungan hidupnya. Dengan demikian kebudayaan dipahami sebagai faktor stimulus bagi seseorang individu atau suatu warga masyarakat yang berasal dari pengalaman hidup dalam lingkungannya dan sekaligus juga sebagai faktor pendorong keinginan atau motivasinya dalam melakukan renovasi-renovasi terhadap struktur bangunan arsitektur tersebut.

1. 6. Metode Penelitian 1. 6. 1. Tipe Penelitian Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode kualitatif. Metode ini akan menghasilkan data deskriptif: ucapan/tulisan dan perilaku yang dapat diamati dari orang-orang (subjek/pewaris/warga masyarakat) itu sendiri (Fufchan, 1992). Ini berarti bahwa hasil data deskriptif tersebut berupa uraian tertulis yang berasal dari informan, baik itu informasi tertulis maupun tidak tertulis, hal ini sejalan dengan Goodenough : …When I speak of describing a culture, then formulating a set of standards that will meet this critical test is what I have in mind. There are many other things, too, that we anthropologists wish to know and try to describe. We have often reffered to these other things as culture, also consequently (1970:101). Terjemahan : …Ketika aku berbicara tentang menguraikan suatu budaya, kemudian merumuskan satu standar yang akan dihadapkan pada test kritis ini adalah apa yang aku maksud. Ada banyak hal lain, juga, bahwa kita ahli antropologi ingin mengetahui dan usaha untuk menguraikan. Kita mempunyai sering masuk ke berbagai hal lain ini sebagai budaya, juga sebagai konsekwensi. 1. 6. 2. Teknik Pengumpulan Data Untuk dapat menjaring data ketika penelitian dilaksanakan, diperlukan beberapa cara yang relevan dalam mencapai tujuan penelitian, yakni studi lapangan sebagai bentuk teknik pengumpulan data secara primer dan studi kepustakaan sebagai bentuk teknik pengumpulan data secara skunder.

1. Studi Lapangan.
Teknik pengumpulan data yang dipakai ketika peneliti melakukan penelitian di lapangan adalah menggunakan metode wawancara. 1.1. Wawancara Wawancara yang dipakai dalam penelitian ini adalah bentuk wawancara mendalam (depth interview) dengan menggunakan alat bantu pedoman wawancara (interview guide) yang berhubungan dengan masalah penelitian. Pemilihan waktu untuk wawancara disesuaikan dengan keadaan dilapangan dan kegiatan yang dilakukan oleh informan. 1.2. Observasi.. Metode observasi partisipasi dengan melakukan pengamatan langsung dalam penelitian. Pada masyarakat sekitar, maupun para ahli waris yang merawat bangunan Bagas Godang . Ini digunakan untuk mengamati dan menangkap kemungkinan interaksi informan terhadap simbol-simbol pada bangunan Bagas Godang dan Sopo Godang.
2. Studi Kepustakaan.
Studi kepustakaan dilakukan untuk memperoleh data arsip/dokumentasi berupa data historis Bagas Godang dan Sopo Godang. Selain itu juga untuk mencari data yang berhubungan dengan masalah penelitian.
Universitas Sumatera Utara
1. 6. 3. Analisa Data Analisa data diperlukan untuk dapat menjelaskan tentang kedudukan nilai data yang nantinya akan diperoleh pada lapangan penelitian, adapun tahapan analisa data dipergunakan setelah penelitian lapangan selesai dan data terkumpul, maka tahap selanjutnya adalah melakukan analisa data. Seluruh data yang terkumpul dari metode-metode yang dipakai akan dibaca, diteliti dan ditelaah. Dan tahap terakhir, melakukan pengkategorian data sehingga dapat dibagi dalam beberapa kategori dengan tujuan agar terlihat perbedaan antara data primer dan data sekunder, hasil kategorisasi data akan dideskripsikan demi pencapaian tujuan penelitian.

No comments:

Post a Comment