Tuesday 7 April 2015

ASAL USUL MARGA RANGKUTI


Marga Rangkuti dan Parinduri Nenek Moyang Kedua marga tersebut adalah Datu Janggut Marpayung Aji yang juga Raja di Huta Lobu Mandala Sena (Sekarang Aek Marian). Sang Datu suka mengendarai gajah putih jika berpergian dan dikawal dengan harimau (babiat). Datu Janggut Marpayung Aji Dengan Puterinya di Huta Lobu (Aek Marian) Alkisah, pada zaman dahulu hiduplah seorang Raja yang arif dan bijaksana yang memiliki kesaktian mandraguna yang tiada tanding di seluruh mandailing. Ia tinggal di Desa Hutalobu atau yang sekarang kita kenal dengan Desa Aekmarian, di tepi Siantona kecamatan Lembah Sorik Marapi Kabupaten Mandailing Natal. Raja ini memiliki seekor harimau yang di jadikan sebagai tunggangannya kemanapun ia pergi. Tetapi walau pun ia sakti ia tetapi tidak sombong, konon cerita itulah sebabnya ia digelar sebagai Datu Janggut Marpayung Aji. Raja Datu Janggut memiliki putri yang sangat cantik jelita, yang bernama Bujing Janggeas. Apabila sang Putri sedang memakan daun sirih akan tampaklah warna kemerah-merahan mengalir di kerongkongannya. Kecantikan Bujing Janggeas pun sudah tersohor kemana-mana. Sehingga banyak anak-anak Raja yang datang bertandang ke Rumah Bujing Janggeas, bermaksud untuk meminang Sang Putri, namun Bujing Janggeas selalu menolak lamarannya. Sehingga pada suatu hari datanglah Datu Tolpang untuk melamar Sang Putri, Lalu datanglah Bujing Janggeas untuk menyambut kedatangan datu Tolpang. Datu tolpang heran mengapa Datu Jangggut seperti biasa, “Adindaku Bujing Janggeas dimana tulangku berada, mengapa Dia tidak menyambutku seperti biasa”Kata Datu Tolpang.”Oh Ayah sedang pergi ke Rao untuk melihat Kerbau-kerbaunya yang sedang mandi”Kata Bujing Janggeas. “Wah, ini kesempatanku yang sangat bagus untuk mencuri Kitab-kitab Pusaka milik tulangku Datu Janggut yang berisi Ilmu Kesaktian Yang tidak boleh diajarkan kepada orang lain, selain keturan Datu Janggut”Kata Datu Tolpang. Lalu Bujing Janggeas Pergi kedapur untuk memasak makanan untuk mereka bertiga dengan Duma yang sedang berda di belakang Puri, Lalu diam-diam Datu Tolpang masuk kedalam bilik (Kamar) tempat-tempat benda pusaka milik Datu Janggut. Lalu perasaan datu janggut tidak tenang lalu Datu Janggut ke Huta Lobu, lalu Datu Tolpang masuk ke Pagu, setelah Datu Janggut samapai dengan nada marah, Datu Janggut Berkata:”Wahai Datu Tolpang Pulannglah ada sesuatu yang terjadi yang tidak baik yang menimpa keluargamu (meninggal dunia)” Setelah kabar itu Datu Janggut juga pergi melayat ke Roburan Dolok untuk mengunjungi Datu Tolpang, Lalu Datu Janggut Berkata:”Wahai Sahabatku Sabarlah”. Mendengar perkataan Datu Janggut tersebut Datu Tolpang merasa tersinggung. Pada suatu hari Bujing Janggeas pun hilang dibawa orang Bunian atau Jin ke Tor Dolok Sigantang. Karena sudah tidak tahan dengan kelakuan Datu Tolpang, akibatnya Datu Janggut marah kepada Datu Tolpang. Pada hari itu Datu Tolpang melemparkan lesung dan ditangkis oleh Datu Janggut dengan Indalu. Sehingga menyebabakan sebuah danau di Purba Julu, Datu Janggut mengutuk Datu Tolpang dengan berkata:”Barang siapa Boru Lubis asli keturunan Datu Tolpang, tidak boleh lewat dari huta lobu (Aekmarian). Apabila dilanggar sering terjadi perceraian. Makam Leluhur Marga Rangkuti: Potensi Wisata Sejarah yang Terabaikan http://stat.kompasiana.com/files/2010/07/rangkuti31-199x300.jpg Bila saya memperkenalkan diri dan menyebutkan suku saya, sering orang yang baru saya kenal mengaku baru tahu kalau Rangkuti itu adalah salah satu marga dari suku Mandailing. Sama halnya seperti marga Nasution, Lubis, Daulay, Pulungan, dan lain sebagainya. Itu bisa disebabkan populasi marga Rangkuti yang cenderung lebih sedikit dan hanya segelintir saja yang menonjol di permukaan, sehingga marga Rangkuti tidak terlalu dikenal seperti marga-marga Mandailing lainnya. Namun demikian, kebesaran marga Rangkuti terungkap melalui sejarah pada abad sebelum penjajah Belanda datang ke Indonesia. Saya cukup sering mendengar sejarah marga Rangkuti dari Ayah dan kerabat-kerabat saya. Paling sering dan yang masih terekam dalam benak saya adalah kalau Rangkuti itu berasal dari kata “Orang yang Ditakuti”. Bila diucapkan secara cepat, maka akan terdengar menjadi “Rangkuti”. Hal ini sebagaimana yang saya baca di buku “Data dan Silsilah Marga Rangkuti”, karya H. Arif Kamal Pulungan. Cukup unik. Tapi sebenarnya saya penasaran, sejak kapan kata “Rangkuti” itu mulai disebut? Apakah memang dulunya orang-orang yang mengenal marga Rangkuti itu sudah berbahasa Indonesia? Mengingat kata Rangkuti itu mestinya dicetuskan oleh orang-orang Mandailing yang pastinya berbahasa Mandailing (agaknya hal ini perlu penelusuran lebih lanjut). Sesuai yang tertulis di buku tersebut, asal kata Rangkuti itu adalah karena dulunya, Sutan Parapat, sebagai salah seorang raja, leluhur marga Rangkuti, memiliki kemampuan menjinakkan harimau (bahasa Mandailing harimau adalah “babiat”). Bukan hanya menjinakkan, tetapi juga mengendarainya kemana pun ia pergi. Menurut sejarahnya, hanya orang-orang tertentu yang digelari Rangkuti itulah yang bisa memperlakukan seekor harimau sedemikian rupa sehingga menjadi jinak layaknya hewan peliharaan. Harimau itu pun berperilaku seperti hamba yang mengabdi pada Tuannya. Disebabkan kesaktiannya menaklukkan harimau itu, maka orang-orang menganggap Sutan Parapat dan para leluhur lain yang bisa menunggangi harimau sebagai orang yang ditakuti. Karena rajanya ditakuti, maka rakyat dan generasi penerusnya pun ditakuti setiap orang pula. Kepala makam Raja Datu Janggut Marpayung Aji (dok. AFR) http://stat.kompasiana.com/files/2010/07/rangkuti11-300x199.jpg Kepala makam Raja Datu Janggut Marpayung Aji (dok. AFR) http://stat.kompasiana.com/files/2010/07/rangkuti41-300x199.jpg Terlepas dari pembahasan mengenai asal mula sebutan “Rangkuti” tersebut, umum diketahui kalau setiap orang yang bermarga (di tanah Batak) adalah raja. Tak terkecuali Mandailing, yang sebenarnya masih merupakan bagian dari suku Batak, namun seringkali enggan menyebut dirinya sebagai suku Batak. Sebagaimana halnya marga-marga di tano (tanah) Batak, marga-marga yang berkembang di Mandailing bermula dari bentuk kerajaan, tak terkecuali marga Rangkuti. Adapun Rangkuti, kerajaan marganya terletak di Runding, di seberang sungai terbesar di Mandailing bernama Batang Gadis. Kerajaan Runding ini berhadapan dengan kerajaan marga Pulungan di Huta Bargot. Kerajaan Rangkuti di Runding termasuk salah satu kerajaan tertua di Mandailing. Bila ditilik tahunnya, kerajaan ini terbentuk kira-kira pada pertengahan abad XI. Wilayah kerajaan yang didiami marga Rangkuti ini cukup luas, mencakup huta-huta (kampung-kampung) di Mandailing Jae (Mandailing Godang), Batang Natal dan Mandailing Julu. Salah satu huta di Mandailing Godang adalah Hutalobu atau yang sekarang disebut Aek Marian, yang merupakan tanah kelahiran Ayah saya. Di sinilah terdapat makam salah seorang leluhur marga Rangkuti yaitu, Datu Janggut Marpayung Aji, yang merupakan generasi keempat dari keturunan Sutan Pane, yang bersaudara dengan Sutan Parapat. Beberapa bulan yang lalu, ketika saya masih tinggal di Panyabungan, ibukota Kabupaten Mandailing Natal, saya berkesempatan mengunjungi lagi makam Datu Janggut Marpayung Aji tersebut, setelah kunjungan pertama beberapa tahun sebelumnya. Letak Aek Marian tidak terlalu jauh dari Panyabungan. Hanya lebih kurang 30 menit saja dengan berkendara. Jalannya pun mulus, karena merupakan Jalan Lintas Sumatera menuju Sumatera Barat. Penunjuk ke arah makam (dok. AFR)

No comments:

Post a Comment