Marga
Rangkuti dan Parinduri Nenek Moyang Kedua marga tersebut adalah Datu
Janggut Marpayung Aji yang juga Raja di Huta Lobu Mandala Sena (Sekarang
Aek Marian). Sang Datu suka mengendarai gajah putih jika berpergian
dan dikawal dengan harimau (babiat). Datu Janggut Marpayung Aji
Dengan Puterinya di Huta Lobu (Aek Marian) Alkisah, pada zaman dahulu
hiduplah seorang Raja yang arif dan bijaksana yang memiliki kesaktian
mandraguna yang tiada tanding di seluruh mandailing. Ia tinggal di Desa
Hutalobu atau yang sekarang kita kenal dengan Desa Aekmarian, di tepi
Siantona kecamatan Lembah Sorik Marapi Kabupaten Mandailing Natal. Raja
ini memiliki seekor harimau yang di jadikan sebagai tunggangannya
kemanapun ia pergi. Tetapi walau pun ia sakti ia tetapi tidak sombong,
konon cerita itulah sebabnya ia digelar sebagai Datu Janggut Marpayung
Aji. Raja Datu Janggut memiliki putri yang sangat cantik jelita, yang
bernama Bujing Janggeas. Apabila sang Putri sedang memakan daun sirih
akan tampaklah warna kemerah-merahan mengalir di kerongkongannya.
Kecantikan Bujing Janggeas pun sudah tersohor kemana-mana. Sehingga
banyak anak-anak Raja yang datang bertandang ke Rumah Bujing Janggeas,
bermaksud untuk meminang Sang Putri, namun Bujing Janggeas selalu
menolak lamarannya. Sehingga pada suatu hari datanglah Datu Tolpang
untuk melamar Sang Putri, Lalu datanglah Bujing Janggeas untuk menyambut
kedatangan datu Tolpang. Datu tolpang heran mengapa Datu Jangggut
seperti biasa, “Adindaku Bujing Janggeas dimana tulangku berada, mengapa
Dia tidak menyambutku seperti biasa”Kata Datu Tolpang.”Oh Ayah sedang
pergi ke Rao untuk melihat Kerbau-kerbaunya yang sedang mandi”Kata
Bujing Janggeas. “Wah, ini kesempatanku yang sangat bagus untuk mencuri
Kitab-kitab Pusaka milik tulangku Datu Janggut yang berisi Ilmu
Kesaktian Yang tidak boleh diajarkan kepada orang lain, selain keturan
Datu Janggut”Kata Datu Tolpang. Lalu Bujing Janggeas Pergi kedapur untuk
memasak makanan untuk mereka bertiga dengan Duma yang sedang berda di
belakang Puri, Lalu diam-diam Datu Tolpang masuk kedalam bilik (Kamar)
tempat-tempat benda pusaka milik Datu Janggut. Lalu perasaan datu
janggut tidak tenang lalu Datu Janggut ke Huta Lobu, lalu Datu Tolpang
masuk ke Pagu, setelah Datu Janggut samapai dengan nada marah, Datu
Janggut Berkata:”Wahai Datu Tolpang Pulannglah ada sesuatu yang terjadi
yang tidak baik yang menimpa keluargamu (meninggal dunia)” Setelah
kabar itu Datu Janggut juga pergi melayat ke Roburan Dolok untuk
mengunjungi Datu Tolpang, Lalu Datu Janggut Berkata:”Wahai Sahabatku
Sabarlah”. Mendengar perkataan Datu Janggut tersebut Datu Tolpang
merasa tersinggung. Pada suatu hari Bujing Janggeas pun hilang dibawa
orang Bunian atau Jin ke Tor Dolok Sigantang. Karena sudah tidak tahan
dengan kelakuan Datu Tolpang, akibatnya Datu Janggut marah kepada Datu
Tolpang. Pada hari itu Datu Tolpang melemparkan lesung dan ditangkis
oleh Datu Janggut dengan Indalu. Sehingga menyebabakan sebuah danau di
Purba Julu, Datu Janggut mengutuk Datu Tolpang dengan berkata:”Barang
siapa Boru Lubis asli keturunan Datu Tolpang, tidak boleh lewat dari
huta lobu (Aekmarian). Apabila dilanggar sering terjadi perceraian.
Makam Leluhur Marga Rangkuti: Potensi Wisata Sejarah yang Terabaikan http://stat.kompasiana.com/files/2010/07/rangkuti31-199x300.jpg
Bila saya memperkenalkan diri dan menyebutkan suku saya, sering orang
yang baru saya kenal mengaku baru tahu kalau Rangkuti itu adalah salah
satu marga dari suku Mandailing. Sama halnya seperti marga Nasution,
Lubis, Daulay, Pulungan, dan lain sebagainya. Itu bisa disebabkan
populasi marga Rangkuti yang cenderung lebih sedikit dan hanya
segelintir saja yang menonjol di permukaan, sehingga marga Rangkuti
tidak terlalu dikenal seperti marga-marga Mandailing lainnya. Namun
demikian, kebesaran marga Rangkuti terungkap melalui sejarah pada abad
sebelum penjajah Belanda datang ke Indonesia. Saya cukup sering
mendengar sejarah marga Rangkuti dari Ayah dan kerabat-kerabat saya.
Paling sering dan yang masih terekam dalam benak saya adalah kalau
Rangkuti itu berasal dari kata “Orang yang Ditakuti”. Bila diucapkan
secara cepat, maka akan terdengar menjadi “Rangkuti”. Hal ini
sebagaimana yang saya baca di buku “Data dan Silsilah Marga Rangkuti”,
karya H. Arif Kamal Pulungan. Cukup unik. Tapi sebenarnya saya
penasaran, sejak kapan kata “Rangkuti” itu mulai disebut? Apakah memang
dulunya orang-orang yang mengenal marga Rangkuti itu sudah berbahasa
Indonesia? Mengingat kata Rangkuti itu mestinya dicetuskan oleh
orang-orang Mandailing yang pastinya berbahasa Mandailing (agaknya hal
ini perlu penelusuran lebih lanjut). Sesuai yang tertulis di buku
tersebut, asal kata Rangkuti itu adalah karena dulunya, Sutan Parapat,
sebagai salah seorang raja, leluhur marga Rangkuti, memiliki kemampuan
menjinakkan harimau (bahasa Mandailing harimau adalah “babiat”). Bukan
hanya menjinakkan, tetapi juga mengendarainya kemana pun ia pergi.
Menurut sejarahnya, hanya orang-orang tertentu yang digelari Rangkuti
itulah yang bisa memperlakukan seekor harimau sedemikian rupa sehingga
menjadi jinak layaknya hewan peliharaan. Harimau itu pun berperilaku
seperti hamba yang mengabdi pada Tuannya. Disebabkan kesaktiannya
menaklukkan harimau itu, maka orang-orang menganggap Sutan Parapat dan
para leluhur lain yang bisa menunggangi harimau sebagai orang yang
ditakuti. Karena rajanya ditakuti, maka rakyat dan generasi penerusnya
pun ditakuti setiap orang pula. Kepala makam Raja Datu Janggut
Marpayung Aji (dok. AFR) http://stat.kompasiana.com/files/2010/07/rangkuti11-300x199.jpg Kepala makam Raja Datu Janggut Marpayung Aji (dok. AFR) http://stat.kompasiana.com/files/2010/07/rangkuti41-300x199.jpg
Terlepas dari pembahasan mengenai asal mula sebutan “Rangkuti”
tersebut, umum diketahui kalau setiap orang yang bermarga (di tanah
Batak) adalah raja. Tak terkecuali Mandailing, yang sebenarnya masih
merupakan bagian dari suku Batak, namun seringkali enggan menyebut
dirinya sebagai suku Batak. Sebagaimana halnya marga-marga di tano
(tanah) Batak, marga-marga yang berkembang di Mandailing bermula dari
bentuk kerajaan, tak terkecuali marga Rangkuti. Adapun Rangkuti,
kerajaan marganya terletak di Runding, di seberang sungai terbesar di
Mandailing bernama Batang Gadis. Kerajaan Runding ini berhadapan dengan
kerajaan marga Pulungan di Huta Bargot. Kerajaan Rangkuti di Runding
termasuk salah satu kerajaan tertua di Mandailing. Bila ditilik
tahunnya, kerajaan ini terbentuk kira-kira pada pertengahan abad XI.
Wilayah kerajaan yang didiami marga Rangkuti ini cukup luas, mencakup
huta-huta (kampung-kampung) di Mandailing Jae (Mandailing Godang),
Batang Natal dan Mandailing Julu. Salah satu huta di Mandailing Godang
adalah Hutalobu atau yang sekarang disebut Aek Marian, yang merupakan
tanah kelahiran Ayah saya. Di sinilah terdapat makam salah seorang
leluhur marga Rangkuti yaitu, Datu Janggut Marpayung Aji, yang merupakan
generasi keempat dari keturunan Sutan Pane, yang bersaudara dengan
Sutan Parapat. Beberapa bulan yang lalu, ketika saya masih tinggal di
Panyabungan, ibukota Kabupaten Mandailing Natal, saya berkesempatan
mengunjungi lagi makam Datu Janggut Marpayung Aji tersebut, setelah
kunjungan pertama beberapa tahun sebelumnya. Letak Aek Marian tidak
terlalu jauh dari Panyabungan. Hanya lebih kurang 30 menit saja dengan
berkendara. Jalannya pun mulus, karena merupakan Jalan Lintas Sumatera
menuju Sumatera Barat. Penunjuk ke arah makam (dok. AFR)
No comments:
Post a Comment